Minggu, 13 Juni 2010

Prediksi 2022

Memprediksi Indonesia 2022

Furqon Bunyamin

Penduduk Indonesia kini hampir mendekati 230 juta. Jumlah penduduk yang sangat fantastis dengan luas wilayah 28.490 km2. Bandingkan dengan Singapura yang hanya menempati areal kota dengan luas wilayah 583 km2. Dengan kota Jakarta saja, luas wilayah Singapura jauh lebih kecil. Dari segi wilayah, luas Indonesia 28.000 km2 lebih besar dibanding Negara kota itu. Lantas mengapa luas wilayah dan jumlah penduduk Indonesia yang jauh lebih besar kemudian tidak memberi sedikitpun manfaat dan kesejahteraan bagi rakyatnya? Sementara Singapura yang jauh lebih kecil mampu berbuat banyak bagi penduduk dan memberikan kesejahteraan di semua sektor. Padahal kepala mereka sama besar dengan kepala kita dan secara geografis, negeri mereka pun tidak jauh dari wilayah dan bumi yang kita diami. Padahal, Koes Plus mensinyalir kehebatan negeri khatulistiwa ini dalam satu syair lagunya,’…tongkat dan kayu jadi tanaman…” Ada apa di balik ini semua? Bila populasi negeri ini, mulai dari pemimpin hingga masyarakat berdiam diri dan tidak berbenah untuk bangkit - melakukan perubahan, maka kehebatan Indonesia dengan kesuburan tanahnya itu hanya tinggal kenangan dan keterpurukan Indonesia hanya masalah menunggu waktu. Indonesia 2020 sebagai judul tulisan ini mencoba memberi telaah terhadap beberapa penguat bagi kemunduran bahkan keterpurukan negeri jamrud yang terkenal dengan slogan gemah rifah lohjinawi ini. Berikut adalah potret Indonesia dan beberapa faktor penyebab keterpurukan yang harus segera diperbaiki.

1. Aktualisasi Agama yang Tidak Kaffah

Agama menjadi indikator penting dalam melihat Indonesia ke depan. Dengan agama sajalah bangsa ini dapat keluar dari krisis dan keterpurukan. Perilaku agama dan manifestasinya harus menjunjung tinggi nilai-nilai universal sehingga totalitas itu memungkinkan masuknya Islam dalam seluruh dimensi kehidupan bangsa Indonesia. Terimalah agama dalam konsep, perundangan dan perilaku secara kaffah. Bukan agama sebatas pengakuan di bibir saja. Lemahnya praktik agama dalam konteks ini menjadi salah satu faktor keterpurukan bangsa Indonesia masa lalu, kini bahkan yang akan datang. Agama hanya dipahami sebatas “Teras” dan itupun hanya untuk keperluan administrasi saja. Aplikasi agama menjadi abangan dengan segala bentuk aplikasinya. Keberagamaan kita belum memasuki semua lini kehidupan secara universal.

Mungkin inilah yang dimaksud Sukarno dengan Islam sontoloyo, yang mengambil sisi budaya dan filsafah sebagai referensi amaliahnya. Memang benar, bila budaya asli Indonesia dijadikan rujukan utama dalam mengaplikasi nilai agama, yang terjadi adalah seperti yang ditulis oleh Sukarno dalam bukunya “Dibawah Bendera Revolusi” setebal 611 halaman itu. Dalam hal ini kita setuju dengan premis beliau namun bukan berarti menerima sepenuhnya.

Islam di Indonesia memang sangat “hebat”. Bayangkan saja, setiap tahun tidak kurang dari 200 ribu orang muslim melaksanakan haji. Tetapi pelaksanaan ibadah yang sangat sarat dengan pendekatan diri, pengorbanan dan penghambaan kepada Allah SWT itu, tidak memberi imbas positif di masyarakat. Ibadah haji dilakukan untuk tujuan lain. Menuju tempat yang benar dan suci tetapi dengan hati yang kotor dengan niat dan pelaksanaan yang bertentangan dengan esensi dan pesan haji itu sendiri.

Hal ini terjadi pula dalam kehidupan berpolitik. Semua pemikiran yang mewakili kepentingan agama tidak mampu mengintegrasikan nilai-nilai religius dalam kehidupan politik praktis mereka. Kehidupan religius telah dibumihanguskan oleh kepentingan duniawi. Partai-partai “Bernuansa Islam” masih malu-malu mengatakan kebenaran di tengah publik yang sekular. Mereka takut dibilang fundamentalis dan tidak demokratis. Takut dibilang anti keanekaragaman dan lain sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, maka suara kebenaran yang berakar pada nilai agama menjadi kering kerontang. Politisi muslim terpenjara oleh ide cemerlang yang terbentang di awang-awang. Berapa banyak partai Islam yang tumbuh di negeri ini namun tidak berani unjuk gigi mengaplikasikan nilai-nilai dan keyakinan mereka dalam kiprah politiknya. Apa yang terjadi dalam realita kehidupan politik, para pemuka agama yang berlatar belakang religius justeru terjerat dalam kasus pidana yang berlawanan dengan misi dan perannya sebagai “Khilafah Fil Ard”. Kalau kita tanyakan mengapa hal ini terjadi, maka muncullah apologi untuk sebuah pembenaran dengan seribu alasan politis.

Kalau output Islam yang kita dapati semacam ini, lantas di manakah letak kesalahannya? Al-Qur’an atau umat Islamnya yang keliru? Ketika kebenaran Islam dikebiri oleh kepentingan politik, maka lahirlah politisi kelas teri yang tidak lagi peduli. Kaum muslim yang berangkat ke ladang untuk menggarap sawah kini terpusatkan seluruh potensi pikirannya pada “seekor belut” yang dijumpainya. Maka sekedar mengingatkan apa yang ditulis oleh DR. Surahman Hidayat bahwa siyasatud da’wah tidak boleh bergeser menjadi da’wah siyasiyah. Spirit siyasatud da’wah adalah mementingkan kemenangan bagi da’wah meskipun harus mengorbankan peluang meraih posisi formal. Sedang spirit siyasiyah memobilisasi segenap potensi da’wah dan mengatas-namakan da’wah untuk memenangkan posisi formal. Dalam hal ini, kisah pencalonan Syeikh Hasan Albanna sebagai calon anggota legislatif pusat di salah satu distrik Mesir, patut diteladani. Karena tekanan Inggris yang tidak menghendaki kemenangannya, beliau rela mundur demi da’wah yang diusungnya.

Bila adab gerakan politik Islam tanah air masih plintat-plintut maka partai Islam tidak akan mencapai hasil ideal seperti yang pernah dicapai Rasulullah dulu. Apalagi bila dibumbui oleh amaliah yang tidak memiliki tuntunan dan kebenaran ilahiyah. Prinsip da’wah adalah menyampaikan kebenaran walau pahit rasanya. Bukan berleha-leha dan berlibur intelektual dengan pengetahuan luas tentang politik dan ajaran Islam tanpa amaliah praktis! Atau istirahat sejenak seperti Ka’ab bin Malik.

Islam, Kristen, Katholik, Hindu dan Budha adalah representasi nilai moral yang berbasis pada kebaikan tetapi sepi dalam pembentukan kebaikan universal. Pengajaran agama begitu banyak; buku-buku agama tersebar di mana saja. Peringatan keagamaan ketiga agama ini tidak membuahkan hasil yang mampu mensejahterakan bangsa secara menyeluruh. Masjid, Gereja, Kuil dan Candi menjadi bangunan mewah dan agung tanpa pencerahan bagi penganutnya. Peringatan-peringatan keagamaan yang dilaksanakan tersebut tidak sedikitpun membawa dampak positif bagi pribadi penganutnya. Peringatan hanya menjadi upacara seremonial yang tidak sedikit memakan biaya. Mengapa tak terpikirkan oleh umat dan bangsa ini upaya membangun ketahanan ekonomi yang mampu memberikan jalan keluar kepada rakyat? Krisis multidimensi yang terjadi di negeri ini sepatutnya menjadi cambuk bagi elit dan pemuka agama untuk mengevaluasi kebijakan secara radikal terhadap nilai-nilai agama, politik dan sistem ekonomi yang selama ini dipakai sebagai acuan.

Dalam konteks ini, aplikasi nilai-nilai religius dalam media publik yang lebih luas menjadi sebuah persyaratan dalam rangka mensyukuri semua lini dan dimensi kehidupan yang kita peroleh selama ini. Bukankah dengan bersyukur kemudian Allah SWT akan menambah nikmat-Nya?

2. Hilangnya Nurani Politisi

Pola pikir bangsa di bidang politik masih sangat lemah. Politik praktis yang dilakoni berlangsung tanpa moral dan etika yang dilandasi nilai agama universal. Politik masih menjadi sebuah tempat yang teduh untuk sebuah kenikmatan dan menjadi sarana memperkaya diri. Hal ini dapat dilihat dengan munculnya mentalitas pejabat tidak bermoral. Para politikus di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak lagi memiliki nurani dalam menjalankan konstitusi. Kasus korupsi yang belakangan terjadi menjadi sebuah bukti betapa para elit tidak memiliki hati nurani. Reformasi yang pernah bergulir kehilangan ruh dan jati diri. Reformasi menjadi sebuah identititas sebuah gerakan dan bukan sebuah perubahan. Reformasi tidak lagi memiliki orientasi yang jelas bagi sebuah perubahan. Reformasi bergerak dengan kekuatan yang amat signifikan namun tidak memiliki visi, konsep dan kerangka nilai yang jelas sehingga perubahan sistem yang lebih fundamental tidak mencapai sasaran. Reformasi memberi banyak alamat tapi tidak memiliki identitas. Reformasi hanya sebuah konsep yang didorong oleh gairah dan aksi bukan berdasarkan nurani yang sesungguhnya.

Perubahan yang diusung reformasi hanya gelombang semangat yang dapat menghancurkan bebatuan dan karang namun tidak menyentuh sedikitpun kedalaman dan dasar laut. Gerakan reformasi kemudian terhenti oleh sedikitnya bekal energi dan bebatuan karang di dasar lautan tetap kokoh bahkan tumbuh kian menjulang ke permukaan laut. Reformasi bergulir tanpa visi dan misi, sehingga bermuara di persimpangan jalan yang justeru membingungkan rakyat. Dari gelombang dan guratan sejarah inilah kemudian kita sadar bahwa merasa baik saja belum cukup untuk melakukan perubahan. Untuk merealisasikan perubahan sesuai dengan blue print yang tertera dalam konsep reformasi tersebut, dibutuhkan kemampuan prima, strategi, kredibilitas tinggi dan perencanaan matang serta visi ke depan. Gordon Dryden dalam bukunya “The Learning Revolution” mengatakan bahwa jika Anda memiliki gairah dan aksi tetapi tanpa visi maka Anda akan sampai di tempat yang keliru.

Reformasi dan apapun nama gerakan itu, bila dalam aplikasi tanpa visi ke depan, hanya menghasilkan sebuah kondisi status quo yang justeru membuka peluang lebih banyak bagi pelaku politik melakukan tindak korupsi. Betapa memalukan bahwa setelah bergulir reformasi arus korupsi justeru semakin deras dan melebar ke berbagai institusi dan lembaga tinggi.. Sederet anggota DPR masuk bui disebabkan sifat rakus terhadap materi. Tidak pernah terjadi di sepanjang sejarah sosial politik sebuah bangsa, di mana tindak korupsi dilakukan secara berjama’ah. Ironisnya hal ini justru terjadi di era reformasi. Mengapa? Inilah sikap dan cara berpikir wakil rakyat dan elit politik yang tidak memiliki empathi terhadap kondisi, terutama kepada rakyat tidak mampu yang telah mendukung dan mengusung mereka menuju kursi kepemimpinan. Mereka sibuk dengan urusan dan kepentingan personal sehingga lupa dengan konstituen yang telah menyematkan simpathi dan harapan. Hati nurani itu telah tenggelam bersama kesibukan memperkaya diri. Bahkan selain ternoda oleh tindakan korupsi, mereka yang katanya wakil rakyat itu juga terlibat dalam kriminalitas lain seperti penggunaan zat terlarang seperti narkoba dan pelecehan sexual. Naudzu billah min dzalik!

Janji yang pernah terlontar saat mereka kampanye untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyat bak debu tersiram hujan. Kampanye hanya tinggal cerita masa lalu. Tidak sedikitpun bukti yang tersisa untuk diwujudkan saat mereka tiba di sebuah kursi dan jabatan. Rakyat tidak mampu “memahami” budaya pikir politisi yang telah terkebiri oleh (vested interest) kepentingan pribadi. Mungkin bagi mereka, jabatan bukan lagi sebagai amanah yang mesti ditunaikan tetapi merupakan dendam yang harus “terbayarkan”.

3. Lemahnya Tatanan Sosial dan Hukum

Keterpurukan Indonesia disebabkan pula oleh lemahnya tatanan dan aplikasi hukum. Masyarakat menilai bahwa penerapan hukum oleh pemerintah masih pandang bulu. Kejahatan kerah putih dengan korupsi milyaran bahkan triliunan rupiah tidak mendapatkan sanksi hukum yang berdampak efek jera. Bahkan dengan mudahnya kasus-kasus ini menguap dan dipetieskan. Peradilan berjalan semu (Pseudo Law). Pemberantasan korupsi berjalan setengah hati. Masih ingatkah anda dengan Edy Tansil? 1,3 triliun uang Negara digondol begitu saja tanpa upaya penangkapan terhadap pelakunya padahal interpol tersebar di seluruh penjuru dunia. Apa lagi KPK kini sudah punya kaki tangan baru yang bernama FBI, Federal Beaurau Investigation. Rasanya semakin mudah pekerjaan untuk menangkap pelaku korupsi yang melarikan diri ke luar negeri. Benarkah demikian realitanya?

Penjahat negara ini dengan bebasnya menghirup udara segar di luar negeri. Kasus hukum yang diambil pemerintah kemudian tidak terdengar lagi sejak 1993 itu. Kasus ini telah berlangsung hampir 17 tahun dan tidak seorangpun pejabat peradilan yang mampu mengungkapnya. Edy Tansil melanglang buana dengan uang hasil korupsi. Gelombang korupsi terjadi mulai dari Sabang hingga Merauke. Korupsi telah mendarah-daging dalam kehidupan hampir di seluruh lapisan pejabat. Kegiatan ekonomi sesat ini telah dilegalisir oleh mekanisme pengambilan keputusan di DPR/DPRD yang sejatinya menjadi lembaga yang memiliki fungsi pengawasan terhadap pemberdayaan dana APBD. Menurut laporan Indonesian Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2004 saja terjadi 102 kasus korupsi terhadap APBD. Dari seratus lebih kasus korupsi APBD itu, sebagian sedang diproses di pengadilan dan beberapa sudah diputus oleh vonis pengadilan. Ini baru beberapa contoh yang dibeberkan ICW.

Begitupun dengan data yang dilansir Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK). Selama periode 1999-2004, terjadi korupsi APBD di 18 daerah di Indonesia. Belakangan, April 2010, GeRAK mencatat 4 kasus korupsi di Pemda Aceh yang melibatkan 39 orang dan merugikan negara sebesar 230 milyar lebih. Hampir semua kasus korupsi dana APBD tersebut dilakukan bersama-sama baik antara lembaga eksekutif dengan legislatif maupun antar anggota legislatif sendiri. Tindakan amoral itu dilakukan atas dasar dan keputusan kolektif yang diambil melalui mekanisme sah di Dewan. Kasus terakhir, 24 Januari 2008, 14 anggota DPRD Sulawesi Utara (Talaud) menjadi terdakwa atas korupsi sebesar 4,5 milyar. Begitupun dengan kasus century; walau telah dibentuk pansus dengan biaya 5 milyar sekalipun, kasus itu tetap sulit untuk dibongkar.

ICW juga memaparkan modus dan grafik lengkap tentang korupsi yang merugikan Negara itu. Cara mereka menggerogoti uang negara adalah dengan menggunakan modus operandi yang tak nampak oleh kasat mata. Beragam cara mereka tempuh demi korupsi yang dicita-citakannya. Modus paling lazim seperti yang dilansir ICW adalah dengan cara me-mark-up proyek, pelanggaran prosedur, manipulasi dokumen atau data, mengubah spesifikasi barang, penunjukkan langsung tanpa melalui tender, praktik penggelapan, suap dan kolusi antara eksekutif dan legislatif. Tahukah Anda tingkat korupsi paling besar dilakukan oleh siapa? DPR/DPRD merupakan lembaga yang paling tinggi prosentasi korupsinya disusul kemudian oleh kepala daerah dan aparat pemda.

Pada saat krisis perbankan, di mana 16 bank dilikuidasi oleh pemerintah, BI selaku Bank Central mengucurkan BLBI alias Bantuan Likuidasi Bank Indonesia terhadap bank-bank bermasalah. Jumlah BLBI tidak tanggung-tanggung; 700 triliun lebih dana dikucurkan melalui lembaga BPPN. Apa lacur? Lembaga ini tidak menjalankan fungsinya dengan tepat. Dana mengalir tanpa diketahui rimbanya. Penerima dan pemberi sama-sama melakukan tindakan korupsi. Lalu kemana uang sebesar itu menguap? Siapa saja yang melakukan tindakan korup terhadap uang rakyat itu? Mengapa tidak ada upaya peradilan Indonesia mengusut tuntas masalah ini?

Tindakan hukum berjalan lamban. Para pelaku diberikan kesempatan untuk melarikan diri ke luar negeri. Tidak adanya keseriusan pemerintah menangani para koruptor ini jelas berdampak menurunnya kredibilitas peradilan di mata masyarakat. Penanganan kasus para koruptor ini berjalan bak kura-kura. Bila pun mereka tertangkap, peradilan hanya memberi sanksi ringan dengan mendenda pelaku lalu membebaskannya. Sedikit di antara mereka yang kemudian dijebloskan ke dalam terali besi. Tapi tindakan tegas dan semena-mena para penegak hukum justeru terjadi kepada mereka yang hanya mencuri dua buah cocoa untuk sekedar bibit. Adilkah peradilan semacam ini? Mengenaskan sekali. Para penjahat berkerah putih baik yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif tak pernah tersentuh hukum sebagaimana yang dirasakan para pencuri dari kalangan jelata. Banyak lagi penjahat berkerah putih yang masih berkeliaran dengan bebasnya tanpa dikejar oleh peradilan. Bilapun terjadi penangkapan, proses peradilan akan berjalan seperti yang telah digambarkan sebelumnya; mandul dan tidak memiliki efek jera kepada pelakunya. Bahkan tidak sedikit di antara kriminal itu diperlakukan dengan baik dengan “penjara hotel” lengkap dengan pendingin ruang dan fasilitas lainnya.

4. Sistem Ekonomi Kapitalis

Faktor lain yang turut mejadikan Indonesia terpuruk adalah sistem perekonomian kapitalisme yang bertentangan dengan UUD45, khususnya pasal 33, yang mengatakan bahwa perekonomian negara disusun berdasarkan atas azas kekeluargaan. Kapitalisme ekonomi berjalan atas mekanisme pasar yang lebih mendasari power dan kartal sebagai model bisnis dan transaksi yang dijalani. Disinilah titik temu dua premis yang berbeda antara premis ekonomi dengan teori sosial Darwin “Seleksi Alam”. Teori ini menjelaskan bahwa kekuatan menjadi faktor dominan untuk mempertahankan kehidupan. Inilah dasar dan model yang dianut oleh sistem perekonomian Indonesia. Nampaknya penyusupan ini tidak atau belum kita sadari secara penuh walau banyak ahli ekonomi dunia yang menentang premis ini.

Bangsa Indonesia tidak percaya diri sehingga Barat menjadi sebuah gerbang pemikiran para “malaikat” atau “nabi” yang tidak boleh diamandemen apalagi ditolak. Padahal terhadap UUD dan konstitusi, kita berani mengamandemennya. Pemikiran seperti inilah yang menghambat fundamental ekonomi Indonesia. Mengapa bangsa ini terlalu deduktif terhadap premis Barat? Padahal tidak sedikit ilmuwan yang telah mengajarkan bagaimana manusia mengembangkan pemikiran induktif terhadap sebuah premis. Masih ingat Bacon? Bagi Bacon, tidak ada sebuah kebenaran tanpa melalui proses induktif terhadap sebuah premis dan teori. Maka, bagi Bacon, premis Darwin kemudian, hanya menjadi sebuah kilasan berpikir (glanced thinking) dan bukan sebagai kebijakan praktis yang langsung menjadi efektif sebagai sebuah kesimpulan akhir tanpa evaluasi dan amandemen. Pada tahun 1620, Bacon merefleksikan sikap induktifnya untuk melawan premis yang dianggap publik sebagai “Dewa kebenaran” yang absolut. Perlawanan Bacon tertuang dalam sebuah masterpiece-nya, “Novum Organum”.

Harus muncul keberanian baik dalam lingkup individu maupun elit partai untuk mengambil sikap seperti Bacon itu. Apa lagi terhadap premis yang melahirkan produk Undang-Undang ekonomi yang berdampak luas bagi kehidupan sosial dan politik. Atas dasar inilah, maka untuk penetapan model dan sistem perekonomian, Indonesia tidak asal ikut Barat (kapitalis) yang telah rapuh dimakan zaman.

Dampak buruk dan rapuhnya sistem kapitalis yang kita adopsi itu menjadi bencana nasional saat mantan presiden (alm) Soeharto mengambil kebijakan ekonomi makro negeri ini pada tahun 1997-1998. Pada saat rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto berada di ujung tanduk dan terombang ambing oleh arus reformasi yang begitu kuat menggoyang posisinya sebagai kepala Negara, IMF yang notabene memiliki premis kapitalis tidak menyia-nyiakan kondisi ini. Ada kesempatan dalam kesempitan! Mereka menawarkan proposal “perbaikan” dan “pemulihan” perekonomian Indonesia dengan butir MOU yang seluruhnya merugikan bangsa. Namun sayang, MOU yang bermuatan politis dan tipu daya terselubung itu terpaksa ditandatangani oleh beliau. Mengapa?

Penandatanganan atas klausul IMF oleh mantan penguasa di masa Orde Baru itu tak lepas dari pengaruh Bill Clinton. Menurut Brad Simpson dari National Security Archive (NSA)-lembaga riset non pemerintah di George Washington University, Washington DC, presiden AS pada saat itu, Bill Clinton, menelpon mantan presiden sekitar enam kali. Berdasarkan dokumen tersebut, menurutnya, Clinton menekan Soeharto untuk menerima program yang diusulkan International Monetary Fund (IMF) itu. Sesungguhnya MOU yang penuh tipu daya itu merupakan sebuah konspirasi global pembangkrutan perekonomian Indonesia yang telah terencana di tahun 1987 sejak ditunjuknya Alan Greenspan oleh George Bush sebagai Presiden Federal Reserve.

Privatisasi BUMN merupakan strategi The Washington Concencus 1989 (di dalamnya terdapat kebijakan liberalisasi perdagangan, deregulasi, privatisasi dan pencabutan subsidi) dan ini menjadi MOU yang harus diaplikasikan pemerintah Indonesia. IMF akan menggulirkan bantuan finansial dengan syarat bahwa Indonesia harus menyiapkan fundamental ekonomi yang kuat sehingga menjadi jaminan kepercayaan (trust) untuk pengembalian pinjaman yang diberikan IMF kepada Indonesia. IMF kemudian mengarahkan “penguatan” fundamental ekonomi Indonesia dengan privatisasi BUMN. Menurut mereka managerial BUMN yang diterapkan oleh bangsa Indonesia sama sekali tidak menjanjikan dan profitable (menguntungkan). Oleh karena itu, bukan perbaikan managerial dan pergantian personal saja yang diusulkan IMF dalam pengelolaan BUMN tersebut tetapi lebih dari itu, Indonesia harus menjualnya kepada asing yang menurutnya memiliki kredibilitas pengelolaan yang lebih baik daripada orang Indonesia. BUMN, Badan Usaha Milik Negara kemudian beralih menjadi BUMA, Badan Usaha Milik Asing atas dasar legalitas hukum yang syah dan diakui negara.

Dengan pendekatan inilah IMF berhasil melakukan “perbaikan” ekonomi Indonesia. Beralihnya pengelolaan dan kepemilikan BUMN yang menjadi asset negara kepada pihak asing, selain berdampak buruk terhadap perekonomian negara, juga berdampak negatif terhadap sistem politik, sosial dan budaya. Bukankah kapitalisme ekonomi sangat menjunjung tinggi mekanisme pasar? Mekanisme pasar pada akhirnya menjadi sebuah sandungan besar bagi kebijakan ekonomi nasional. Ketika pasar telah dikuasai bukan oleh negara maka kebijakan politik dan ekonomi negara akan tergerus oleh mekanisme pasar yang dikuasai asing. Kalau ini terjadi, maka Indonesia sebagai sebuah negara tidak lagi memiliki power untuk mempertahankan kedaulatannya. Sangat dikhawatirkan bila kedaulatan Indonesia dikendalikan oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh kekuatan kapitalis. Jejaring makar internasional di balik kerjasama ekonomi ini merupakan langkah strategis dan efisien untuk memukul perekonomian Indonesia. Mereka (termasuk IMF) tidak akan rela dan membiarkan kehebatan Indonesia muncul sebagai macan Asia.*

Mereka tidak akan membiarkan perekonomian Indonesia tumbuh menjadi macan Asia sebagaimana yang ditulis oleh The East Asian Miracle itu. Bila ini terjadi, maka Indonesia menjadi ancaman bagi pertumbuhan ekonomi dan politik mereka. Kepentingan imperialis abad 21 yang dibangun oleh kaum kapitalis dengan slogan Gold, Gospel and Glory tentu saja menjadi pijakan yang cukup kental di tubuh IMF itu. Namun, pemimpin, rakyat dan tokoh di negeri ini tidak sempat membaca situasi dan kondisi yang dimainkan oleh lembaga keuangan internasional tersebut. Bahkan kondisi kita seperti anai-anai yang menganggap api sebagai cahaya yang dapat membimbing di kegelapan malam. Padahal, ketika anai-anai mendekat, panas api langsung membakar dan mematikan. Menurut Jerry Duane Gray, penulis kelahiran Jerman, dalam kesempatan bedah buku Bayang-Bayang Gurita di Student Center, IAIN Ciputat 2005 - IMF adalah kependekan dari Iblis Monetary Fund. Sebuah kekuatan ekonomi yang dijalankan oleh kebijakan iblis.

Maka, dengan mengambil kebijakan yang ditawarkan IMF itu, Indonesia memasuki phase keruntuhan. Krisis ekonomi berlanjut menjadi krisis moneter dan krisis multidimensi. Inflasi ikut memperparah kondisi ekonomi yang sekarat. Loyalitas rakyat terhadap pemerintah semakin lemah. Mahasiswa berdemo dan mereka menduduki Gedung Wakil Rakyat. Mereka menuntut penguasa Orde Baru itu lengser dari jabatannya sebagai presiden RI. Namun sayang sekali reformasi yang diusung mahasiswa tidak memiliki visi seperti yang digambarkan di atas. Semangat perubahan begitu besar dan dinamis namun tidak memiliki gambaran seperti apa Indonesia setelah reformasi itu? Reformasi mati suri karena tidak memiliki visi. Chaos yang terjadi di negeri ini justeru menjadi peluang bagi pemain politik nasional dan internasional. Lalu siapakah gerangan pihak yang paling diuntungkan dengan kondisi chaos seperti ini? Sudah tentu, mereka yang merepresentasikan kekuatan kapital itulah yang paling besar mengambil manfaat dengan kondisi ini. Saat rakyat sulit mendapatkan bahan pokok, mereka justeru menikmati mobil mewah hasil tukar dolar yang mereka depositokan. Bayangkan berapa besar keuntungan yang mereka dapat dengan posisi tukar valas dari harga dolar Rp. 2.500 menjadi 10.000 bahkan mendekati Rp.15.000, Fantastis!

Ekonom Orde Baru tidak pernah berpikir dan menyiapkan solusi terhadap permainan nakal para pialang ekonomi baik di tingkat lokal maupun internasional. Mereka tidak menyadari bahwa banyak George Soros berkulit coklat yang siap menggonjang-ganjing perekonomian negeri ini. Dolar menjadi tambang emas bagi spekulan kapitalis yang serta merta dapat mereka jadikan sebagai bom waktu untuk menjatuhkan rezim dan pemerintahan sebuah negara.

Berapakah keuntungan (selisih tukar) yang mereka peroleh bila mereka menjual $1.000.000 saja ke dalam rupiah? Dalam ungkapan yang berbeda, begitu besar nilai rupiah yang hilang (lost value) ketika permainan kotor kapitalis dengan pertukaran valuta asing ini dimainkan. Lemahnya fundamental ekonomi nasional menjadikan IMF dan kapitalis menari-nari di atas ring. Ekonomi nasional akhirnya KO dan jatuh oleh permainan kapitalis. Inilah sepenggal drama yang menyeret runtuhnya 32 tahun lebih kekuasaan sebuah rezim dengan kemenangan mutlak kaum kapitalis didukung oleh “mekanisme pasar” yang kuat. Reformasi dalam konteks ini - tanpa disadari - telah menjadi batu pijakan (milestone) kapitalis menuai panennya.

Kebijakan ekonomi Indonesia yang deduktif terhadap IMF telah menimbulkan ekses sosial dan politik yang harus dibayar mahal. Kebijakan pemerintah yang tidak worked-out menjadikan mekanisme ekonomi tumpang tindih sehingga kebijakan ekonomi yang diambil selalu saja menimbulkan dampak buruk dan gejolak di masyarakat.

Ketika kebijakan konversi (bahan bakar minyak ke gas) diujicoba di tengah masyarakat, timbul masalah baru sebagai dampak ikutan (efek domino). Harga minyak justeru melambung tinggi. Masyarakatpun resah untuk sekedar mendapatkan minyak tanah yang hilang di pasaran. Sementara produk dan kebutuhan yang akan dikonversi belum tersosialisasi dengan baik dan merata di masyarakat. Harga Bahan Bakar Gas (BBG) melambung sebelum konversi itu diberlakukan. Harga kebutuhan pokok yang lain ikut melonjak. Masyarakat selalu dirugikan atas kebijakan pemerintah yang tidak populer itu. Pemerintahpun mengeluarkan fatwa-fatwa argumentatif bahwa kebijakan ini terpaksa diambil menimbang APBN mengalami defisit anggaran. Untuk mensiasati hal ini, pemerintah mengambil kebijakan dengan mengurangi subsidi BBM dan mengkonversinya menjadi gas. Hal ini ditempuh demi terhindar dari financing gap sebesar 1,1% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang sama nilainya dengan Rp.28,2 triliun.

Setelah lima tahun mengalami penderitaan ekonomi, barulah muncul sedikit saja kesadaran bangsa ini. Lahirlah sistem perekonomian yang dilandasi syariah walau masih terbatas di dalam sistem keuangan perbankan dan bukan dalam konstitusi atau perundang-undangan negara. Masih terdapat hal-hal aneh dalam penerapan sistem syariah yang nampak setengah-setengah itu. Profesor Ibrahim Vadillo, ekonom muslim berkebangsaan Spanyol mengomentari hal ini, “Dulu Anda mungkin terpana melihat sistem ekonomi Barat. Tapi jika Anda telusuri lebih dalam, ternyata semuanya adalah riba dan haram, dari hulu hingga ke hilir. Namun sayangnya, banyak orang terkagum-kagum dengan hal tersebut dan mencoba untuk mengislamkan kapitalisme dan mengadaptasinya sepulang mereka mempelajari ekonomi dari universitas di AS”.

Ironis ! Sebuah bank menjalankan sistem syariah tetapi dengan bank sirkulasi yang masih memakai sistem kapitalis. Apapun namanya, bila induk perbankan (lembaga otoritas keuangan) masih berbasis dan berorientasi kapitalis, maka syariah yang dipakai juga syariah kapitalis. Adakah terminologi fikih tentang sistem ekonomi dengan nama syariah kapitalis? Mungkin Dr. Syafi’i Antonio, M.Riawan Amin, DR. Arie Mooduto dan Dr. Adiwarman Karim dapat menjawab soal ini.

Faktor-faktor yang menyeret terpuruknya negeri - yang terjabarkan di atas - menjadi sebuah input positif untuk kita bersama melakukan perubahan sikap menuju perbaikan demi Rakyat dan bangsa ke depan. Wallahu a’lam bis showab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar