Senin, 17 Mei 2010

nonton yu.....

Rindu Tayangan Cerdas




Jakarta - Baru-baru ini negeri kita kembali digegerkan oleh fenomena munculnya film yang memasang nama pemain film porno dalam judulnya. Entah maksudnya apa. Apa karena ingin mendongkrak rating. Ingin menjadi ikon baru perfilman Indonesia. Atau mungkin ada unsur yang lain dalam pemasangan judul itu. Akan tetapi, satu hal yang pasti, masyarakat dituntut untuk bisa lebih bijak dalam memilih tayangan yang akan dikonsumsi.

Tidak hanya satu film saja yang mengumbar sensasi seperti itu. Jika kita melihat judul-judul film yang tertera di halaman koran sebagian besar tayangan film di Indonesia sudah tidak mementingkan kualitas lagi.

Bisa kita lihat dari judulnya yang berbau horor, mistis, tahayul, dan kesemua itu dibingkai dengan bumbu esek-esek. Menyedihkan memang. Ketika insan perfilman di Indonesia sudah banyak terpengaruh oleh budaya barat dan sudah tidak lagi mengenal adat dan budaya bangsanya sendiri.

Tidak hanya tayangan film bioskop saja. Tayangan di televisi pun sudah semakin miskin manfaat dan hanya sebagian kecil saja yang dirasa bermanfaat. Mulai dari mulai ceramah agama, berita, hingga hiburan. Akan tetapi, tayangan yang kurang bermanfaat sudah menutupi rating tayangan yang bermanfaat.

Jika sudah begini bagaimana mungkin tayangan televisi atau media informasi bisa ikut mendukung pencerdasan untuk masyarakat. Padahal, kini televisi merupakan alat elektronik yang bisa dikatakan ada di setiap rumah.

Semua stasiun televisi berlomba membuat program yang memiliki rating tinggi. Maklum, jika ratingnya tinggi, berarti tayangan tersebut digemari pemirsa. Jika sebuah tayangan digandrungi jutaan pemirsa itu tandanya sinyal baik untuk ditawarkan kepada para produsen barang dan jasa untuk memasang iklan di sela-sela tayangan tersebut. Ironinya, alat yang dipakai untuk menaikkan rating itu merupakan tayangan yang dirasa kurang bermanfaat.

Membius Akal Sehat

Kita benar-benar dikepung dari segala arah. Nyaris tidak bisa lepas dari suguhan beragam tayangan dari semua stasiun televisi. Inilah pertarungan budaya yang akan terus mendegradasi mentalitas. Tayangan televisi pun kental dengan budaya pop, yaitu budaya yang ringan, menyenangkan, trendi, dan cepat berganti.

Kritikus Lorraine Gamman dan Margaret Marshment, keduanya penyunting buku 'The Female Gaze: Women as Viewers of Popular Culture (1998)', bersepakat bahwa budaya popular adalah sebuah medan pergulatan ketika mengemukakan bahwa tidaklah cukup bagi kita untuk semata-mata menilai budaya populer sebagai alat kapitalisme dan patriarki yang menciptakan kesadaran palsu di kalangan banyak orang. Bagi mereka, budaya populer juga tempat dipertarungkannya makna dan digugatnya ideologi dominan.

Celakanya, dalam pertarungan tersebut, siapa pun bisa terlibat dalam lingkarannya. Parahnya lagi, seperti diakui banyak pengamat, bahwa budaya populer yang sedang tren sekarang ini bergerak sangat cepat. Saking cepatnya, tanpa sadar kita dipaksa patuh dengan logic of capital, logika proses produksi, yakni hal-hal yang dangkal dan cepat ditangkap yang cepat laku. Inilah yang sering dijuluki sebagai instans culture.

Anthony Giddens menyebutnya sebagai dunia yang sedang berlari dan semua yang selalu berlari satu track lebih tinggi ini memang tidak memiliki kesempatan untuk merenungkan lebih dalam. Yang penting dalam dunia ini adalah menjual dan membeli.

Semua stasiun televisi dan insan perfilman semakin mahir menyihir pemirsanya demi mengeruk banyak uang. Kita benar-benar dibius dengan tayangan kurang bermanfaat. Akibatnya, jangan heran jika sebagian masyarakat kita sudah meniru habis-habisan tokoh idolanya dalam tayangan televisi dan film tanpa mempertimbangkan benar atau salah. Inilah yang disebut efek spiral kebisuan. Artinya jika info itu salah sekalipun bisa dianggap 'benar' jika ditayangkan secara berulang-ulang.

Itu sebabnya pakar komunikasi seperti Mc Luhan, yang juga penulis buku Understanding Media: The Extensive of Man, menyebutkan bahwa media massa adalah perpanjangan alat indera kita. Dengan media massa, kita memperoleh informasi tentang benda, orang atau tempat yang belum pernah kita lihat atau belum pernah kita kunjungi secara langsung. Realitas yang ditampilkan media massa adalah realitas yang sudah diseleksi.

Televisi memilih tokoh-tokoh tertentu untuk ditampilkan dan mengesampingkan tokoh yang lainnya. Surat kabar pun, melalui proses yang disebut 'gatekeeping' lebih banyak menyajikan berbagai berita tentang 'darah dan dada' (blood and breast) daripada tentang contoh dan teladan.

Itu sebabnya, kita tidak bisa, atau bahkan tidak sempat untuk mengecek peristiwa-peristiwa yang disajikan media. Boleh dibilang, kita cenderung memperoleh informasi tersebut semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Hal inilah yang bisa membius akal sehat masyarakat.

Rindu Tayangan Cerdas

Kini kita merindukan tayangan yang bisa menjadi media pencerdasan untuk masyarakat. Kita membutuhkan tayangan yang bisa membuat penontonnya mendapatkan manfaat. Bisa mengarahkan pemirsa menjadi orang-orang yang mampu memiliki kepribadian yang kokoh dan mental yang baik.

Selain harus lolos Lembaga Sensor film atau tayangan yang akan dirilis ke publik juga seharusnya melewati uji nilai kebermanfaatannya untuk masyarakat sehingga pada nantinya film atau tayangan yang ditonton oleh masyarakat bebas dari konten porno dan memiliki nilai manfaat yang luar biasa.

Media informasi kini telah mengalir deras. Semua orang pun bisa menikmatinya dan perlu sikap mental yang baik untuk menjaring semua informasi yang datang tersebut. Sebelum kita memutuskan untuk menonton suatu tayangan atau film ada baiknya kita mempertimbangkan prinsip AMBAK, yaitu Apa Manfaatnya Bagiku.

Kita tanyakan kembali kepada hati nurani kita. Manfaat apa yang bisa kita peroleh dari menonton suatu tayangan tertentu. Jangan sampai, budaya buruk terus-menerus turun kepada generasi pelanjut kita sehingga nantinya akan menurunkan mentalitas bangsa.

Sebagai manusia kita dikaruniakan akal dan hati yang bisa membedakan mana yang benar dan salah. Mana yang baik dan buruk. Oleh karena itulah manusia memiliki derajat yang paling tinggi dibandingkan makhluk Allah lainnya.

Jangan sampai tayangan yang tidak mencerdaskan masyarakat akan menutup akal dan hati kita untuk menjadi manusia yang mulia. Jangan sampai juga, tayangan yang tidak mencerdaskan masyarakat akan terus menggerogoti mentalitas dan moralitas bangsa sehingga akan menghambat kemajuan bangsa.

Rizal Dwi Prayogo
Jl Mars Selatan XIV No 11 A Bandung
bleqi_lambroso@yahoo.com
081320007944

Tidak ada komentar:

Posting Komentar